Senin, 22 April 2013

TAKHRIJ RIWAYAT TIDAK ADANYA KHALIFAH PENGGANTI ALI RA KARENA MENGIKUTI NABI SAW.

 Hadits 
حدثنا إسماعيل بن أبي حارث، ثنا شبابة بن سوَّار، ثنا شُعيب ابن ميمون، عن حصين بن عبد الرحمن، عن الشعبي عن شقيق، قال : قيل لعلي رضي الله عنه : ألا تَستخلف ؟ قال : ما استخلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فَستخلف، وإن يردِ الله تبارك وتعالى بالناس خيرًَا فَسيجمَعهم على خيرهم، كما جمعهم بعد نبيِّهم على خيرهم.
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Haarits : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimuun, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Asy-Sya’biy, dari Syaqiiq, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aliy : “Tidakkah engkau mengangkat pengganti (khalifah) ?”. Ia menjawab : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat pengganti hingga aku harus mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/164 no. 2486]
Derajatnya : Lemah, karena Syu’aib bin Maimuun, akan tetapi hadits diatas dikuatkan dengan hadits dibawah ini :
1.     Dari Al-A’masy, dari Saalim bin Abi Ja’d, dari ‘Abdullah bin Sabu’, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/30, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 14/596 & 15/118, Ibnu Sa’d  dalam Ath-Thabaqaat 3/20, Abu Ya’laa dalam Al-Musnad no. 341, Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 332, Al-Ashbahaaniy dalam Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah no. 279, Ibnu ‘Asaakir  dalam At-Taariikh 42/538, dan Adl-Dliyaa’  dalam Al-Mukhtarah no. 594; semuanya dari jalan Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Saalim bin Abi Ja’d, dari ‘Abdullah bin Sabu’, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata :
لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذَا، فَمَا يَنْتَظِرُ بِي الْأَشْقَى؟ ! قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَخْبِرْنَا بِهِ نُبِيرُ عِتْرَتَهُ، قَالَ: إِذًا تَالَلَّهِ تَقْتُلُونَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: فَاسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَتْرُكُكُمْ إِلَى مَا تَرَكَكُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: فَمَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ؟ وَقَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً: إِذَا لَقِيتَهُ؟ قَالَ: أَقُولُ: " اللَّهُمَّ تَرَكْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ، ثُمَّ قَبَضْتَنِي إِلَيْكَ وَأَنْتَ فِيهِمْ، فَإِنْ شِئْتَ أَصْلَحْتَهُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَفْسَدْتَهُمْ "
"Sungguh akan diwarnai (darah) dari sini hingga sini, dan tidak menungguku selain kesengsaraan." Para shahabat bertanya : "Wahai Amirul-Mukminiin beritahukan kepada kami orang itu, agar kami bunuh keluarganya." Ali berkata; "Kalau begitu, demi Allah, kalian akan membunuh selain pembunuhku." Mereka berkata : "Angkatlah khalifah pengganti untuk memimpin kami !". ‘Aliy menjawab : "Tidak, tapi aku tinggalkan kepada kalian apa yang telah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tinggalkan untuk kalian". Mereka bertanya : "Apa yang akan kamu katakan kepada Rabbmu jika kamu menghadap-Nya?". Dalam kesempatan lain Wakii' berkata : "Jika kamu bertemu dengan-Nya?" ‘Aliy berkata : "Aku akan berkata : 'Ya Allah, Engkau tinggalkan aku bersama mereka sebagaimana tampak bagi-Mu, kemudian Engkau cabut nyawaku dan Engkau bersama mereka. Jika Engkau berkehendak, perbaikilah mereka dan jika Engkau berkehendak maka hancurkanlah mereka'" [lafadh dari Ahmad dalam Al-Musnad, 1/130].
 2.     Dari Al-A’masy, dari Salamah bin Kuhail, dari ‘Abdullah bin Sabu’, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ahmad  dalam Al-Musnad 1/156 & dalam Al-Fadlaail no. 1211 dan darinya Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 42/539-540 : Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari Al-A’masy, dari Salamah bin Kuhail, dari ‘Abdullah bin Sabu’, ia berkata : ‘Aliy berkhutbah kepada kami : ...... (dengan khutbah semisal di atas)....”.
Kedua riwayat diatas berderajat lemah dikarenakan : Idhdhirabnya dan tadlisnya Al-A’masy serta majhulnya Abdullah bin sabu.
 Akan tetapi kelemahan tersebut akan hilang manakala :
1.    Ada jalur lain yang merajihkan salah satu dari perawi antara Salim atau Salamah yang tanpa melalui Al-A’masy.       
·         Dari Bakr bin Bakr, dari Hamzah Az-Zayyaat, dari Hakiim bin  Jubair, dari Saalim bin Abi Ja’d dari ‘Aliy – secara mursal tanpa menyebutkan Ibnu Sabu’.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 3/29, Abu Nu’aim  dalam Akhbaar Ashbahaan 2/166 & 2/201, Ibnu Mandah dalam Hadiits-nya no. 24, dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 42/537; semuanya dari jalan Bakr bin Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hamzah Az-Zayyaat, dari Hakiim bin  Jubair, dari Saalim bin Abi Ja’d dari ‘Aliy – tanpa menyebutkan ‘Abdullah bin Sabu’    
·      Dari Abaan bin Taghlib, dari Salamah bin Kuhail, dari ‘Abdullah bin Sabu’.  Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 42/541 : Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr Asy-Syiiruwiy, dan telah menceritakan kepada kami Abul-Mahaasin ‘’Abdurrazzaaq bin Muhammad darinya (ح). Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim Al-Waasithiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Khathiib; mereka berdua (Abu Bakr Al-Khathiib dan Abu Bakr Asy-Syiiruwiy) berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Qaadliy Abu Bakr Al-Hiiriy : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub Al-Asham : Telah menceritakan kepada kami Abul-Hasan ‘Aliy bin Muhammad bin Habiibah Al-Qurasyiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Al-Hasan bin Al-Furaat Al-‘Iraar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Umar, dari Abaan bin Taghlab, dari Salamah bin Kuhail, dari ‘Abdullah bin Sabu’, ia berkata : Telah berkata ‘Aliy tiga tahun sebelum ia dibunuh : “.....(al-atsar)...”.
Dengan dua jalur diatas maka hilanglah Idhdhirab dan tadlis Al-A’masy.
2.    Adanya penta’dilan atas Abdullah bin Sabu’ minimal oleh dua orang ulama jarh watta’dil.
·         Abu Bakr bin ‘Ayyaasy; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir  dalam At-Taariikh 42/538-539,  dari jalan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Al-‘Abbaas, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haaruun, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Asy-Syahiidiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Bakr bin ‘Ayyaasy berkata dengan menyebutkan khutbah ‘Aliy di atas. Ishaaq bin Ibraahiim An-Nahdiy berkata :
سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَيَّاشٍ، يَقُولُ: عِنْدِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِسْنَادٌ جَيِّدٌ أَخْبَرَنِي الأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي  الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، أَنَّ عَلِيًّا خَطَبَهُمْ بِهَذِهِ الْخُطْبَةِ
“Aku mendengar Abu Bakr bin ‘Ayyaasy berkata : ‘Menurutku, hadits ini sanadnya jayyid (baik). Telah mengkhabarkan kepadaku Al-A’masy, dari Saalim bin Abi Ja’d, dari ‘Abdullah bin Sabu’, bahwasannya ‘Aliy berkhutbah kepada mereka dengan khutbah tersebut” [selesai].
 Perkataan Abu Bakr bin ‘Ayyaasy terhadap penghukuman sanad hadits yang ia bawakan (dari Al-A’masy, dari Saalim, dari ‘Abdullah bin Sabu’, dari ‘Aliy) adalah shahih sanadnya sampai kepadanya. Dan sebagaimana telah dimaklumi bahwa tashhih seorang ulama terhadap sanad tertentu (mu’ayyan) dianggap merupakan tautsiq terhadap para perawinya. Oleh karena itu, penghukuman Abu Bakr bin ‘Ayyaasy ini mengkonsekuensikan adanya tautsiq (atau ta’dil secara umum) terhadap para perawinya, termasuk ‘Abdullah bin Sabu’. Oleh karena itu, – minimal - terangkatlah jahalatul-‘ain-nya meskipun dalam kitab al-jarh wat-ta’diil ia hanya ditautsiq oleh Ibnu Hibbaan yang terkenal mutasahil dalam pentautsiqan perawi majhuul. Penghukuman Ibnu Hajar dalam At-Taqriib dengan maqbuul bisa dibenarkan, karena perawi yang dihukumi dengan status ini adalah diterima jika ada mutaba’ah-nya.
Jadi kemajhulan ‘Abdullah bin Sabu’ telah hilang karena penilaian Bakr bin ‘Ayyaasy , Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar.
KESIMPULANNYA : HADITS ABDULLAH BIN ABU SABU’ ADALAH  MAQBUL.
    Wallaahu a’lam.


Rabu, 10 April 2013

MUAWIYAH RADHIYALLOHU ANHU

Orang-orang syiah menghujat Muawiyah ra, mereka menampilkan dalil-dalil yang syubhat, mereka tafsirkan dengan panjang lebar, seakan-akan hujjah mereka benar.

Kali ini akan kita tampilkan nash yang jelas pengertiannya antara realita dan konteksnya, yang menunjukkan keutamaan Muawiyah ra.


Nash 1.

Allah ta’ala berfirman :
لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].
Ayat ini turun berkaitan dengan perang Tabuk. Inilah makna ‘saa’atul-‘usrah’ (saat-saat yang sulit). 
Realitanya :  bahwa Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan adalah salah seorang shahabat yang mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di saat-saat yang sulit tersebut (perang Tabuk).
Nash 2.
Bahkan, beliau telah mengkhabarkan adanya balasan surga bagi Mu’aawiyyah sebagaimana tertera dalam riwayat berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ يَشُكُّ أَيَّهُمَا قَالَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ أَنْتِ مِنْ الْأَوَّلِينَ فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنْ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan (hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan - isteri ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan untuk beliau. Setelah itu Ummu Haram menyisir rambut beliau, hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : "Apa yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda : “Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta'ala kepadaku. Mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana" - perawi ragu antara keduanya - . Ummu Haram berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka." Kemudian beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata : Lalu aku kembali bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa ?". Beliau menjawab : "Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta'ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…" - sebagaimana sabda beliau yang pertama - . Ummu Haram berkata : Lalu aku berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka !". Beliau bersabda : "Kamu termasuk dari rombongan pertama". Pada masa (kepemimpinan) Mu'aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].

Nash 3.


حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan : Bahwasannya ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya : Bahwa dia pernah menemui 'Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. 'Umair berkata : Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya (pahala surga)". Ummu Haram berkata : Aku katakan : "Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?". Beliau bersabda : "Ya, kamu termasuk dari mereka". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) akan diberikan ampunan (dari dosa)". Aku katakan : "Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?". Beliau menjawab : “Tidak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2924].
Realitanya : pemimpin armada laut Islam yang pertama adalah Muawiyah.
Nash 4.

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah : telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah : Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda - ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya : "Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746]
Realitanya : kedua kelompok yang bertikai yang didamaikan oleh Al Hasan adalah kelompok Ali dan kelompok Muawiyah, keduanya masih dianggap oleh Rosululloh saw sebagai kaum muslimin.
Kepada siapakah kita akan berpihak.....?
Kepada Nash yang sesuai dengan realitanya.....?
Kepada akhlak syiah yang busuk.....yang menghujat....yang berputar-putar dalam takwil sesat...?

Alhamdulillah...........
 

Minggu, 10 Maret 2013

BANTAHAN ATAS TAKHRIJ HADITS TSAQALAINNYA SYIAH

Berikut ini kami kutipkan hadits yang ditulis syiah lalu kami berikan tanggapan menurut para ulama'.

1.Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda
“Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya
“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.

TANGGAPAN :

Hadis ini shahih, lihatlah bahwa para istri rasulullah saw selama hidupnya tidak pernah diceraikan oleh Rasululloh saw sampai wafat beliau, sehingga PARA ISTRI BELIAU TERMASUK AHLUL BAIT BELIAU.
Lalu bagaimana sikap syiah terhadap 'AISYAH, HAFSHAH, DLL....?
Maukah Syiah mengikuti jalan hidup mereka?

2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.


TANGGAPAN :

Hadis tersebut DHAIF, hadis tersebut telah dilemahkan oleh Imam Adz Dzahabi.
(Lihat dalam kitab At Tadzkirah yang ditulis dalam kitabnya Ma'rifatul Ulama' Hadits karangan Dr. Assayyid Mu'adzdzom Husen)

3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata
“Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Ittrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.


TANGGAPAN :

Hadis tersebut DHAIF, hadis tersebut telah dilemahkan oleh Imam Adz Dzahabi.
(Lihat dalam kitab At Tadzkirah yang ditulis dalam kitabnya Ma'rifatul Ulama' Hadits karangan Dr. Assayyid Mu'adzdzom Husen)
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.

TANGGAPAN :

Hadis tersebut DHAIF, hadis tersebut telah dilemahkan oleh Imam Adz Dzahabi.
(Lihat dalam kitab At Tadzkirah yang ditulis dalam kitabnya Ma'rifatul Ulama' Hadits karangan Dr. Assayyid Mu'adzdzom Husen)


5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.

TANGGAPAN :

Hadits ini DHOIF, karena QASIM BIN HISHAN dikatakan oleh AL BUKHARY dalam ADH DHU'AFA AL KABIR : HADITSNYA MUNKAR DAN TIDAK DIKETAHUI.


6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.


TANGGAPAN :

Hadits ini DHOIF, karena QASIM BIN HISHAN dikatakan oleh AL BUKHARY dalam ADH DHU'AFA AL KABIR : HADITSNYA MUNKAR DAN TIDAK DIKETAHUI.


7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu
  • Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
  • Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat).
  • Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
TANGGAPAN:

Hadits  ini DHOIF karena ATHIYAH seperti yang tersebut diatas.
Hadits dalam kitab Mustadrak dapat dijadikan penjelasan tentang bersambungnya A'masy dengan Habib, tetapi tidak dapat dijadikan penguat hadits Athiyah karena haditsnya lemah.
Memang ada perselisihan diantara para ulama terhadap keshahihan hadits tersebut, Syaikh Albani dan Syaikh Hassan As saqqaf menshahihkan hadits tersebut berdasarkan penggabungan hadits-hadits itu sehingga menjadi shahih lighairihi, apalagi ada penguat dari hadits Zaid bin Arqam diriwayat Muslim yang tersebut di atas.

8. Syiah berkata :

Semua hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang kami maksud (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah). telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).

TANGGAPAN :

Hadits berpegang dengan Al Qur'an dan Ahlul bait yang diriwayatkan Imam Tirmidzi adalah DHOIF karena ada : ATHIYAH (KELEMAHANNYA TELAH DIJELASKAN DIATAS), ZAID bin AL HASSAN AL ANMATHI AL KUFI ( ABU HATIM BERKATA : DIA ADALAH ORANG KUFFAH YANG DATANG KE BAGHDAD,HADITSNYA MUNGKAR),ALI bin MUNZIR AL KUFI (AL ISMAILI BERKATA : DARINYA ADA SESUATU DALAM HATI YANG TIDAK BISA AKU SAMPAIKAN. IBNU MAJAH BERKATA : AKU MENDENGAR DIA BERKATA "AKU PERNAH BERHAJI SEBANYAK 58 KALI, SEBAGIAN BESARNYA DENGAN BERJALAN KAKI")

Dan apabila kita cermati bahwa hadits-hadits yang lafalnya berpegang teguh dengan ahlul bait semuanya DHOIF...

Sedang lafal hadits yang SHAHIH adalah yang diriwatkan oleh Imam Muslim

Kita cermati lagi hadits riwayat Muslim :

Kesimpulannya :

Kepada Al Qur'an kita harus berpegang teguh.....

Kepada Ahlul Bait Aku peringatkan kalian terhadap mereka...Aku peringatkan kalian terhadap mereka....

Kepada Ahlul Bait ikuti perjalanan mereka karena mereka adalah ahlussunnah...., mereka senantiasa mengikuti sunnah...., mereka tidak merasa mendapat wasiyat sebagai pengganti Rasulullah saw....., mereka tidak mencela Abu bakar, Umar, Utsman, 'Aisyah dll. (pembahasannya akan ada mendatang Insya Alloh)

Maukah syiah mengikutinya......? Hmmm.....

KITA TUNGGU SAJA......

Kamis, 07 Februari 2013

MEMBANTAH HAULA WAHABIYAH ATAS TUDUHAN ALI BAHWA ABU BAKAR ADALAH PENDUSTA

Abu Bakar, Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ?


Abu Bakar, Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ?

Sebagaimana biasa, kaum Syi’ah tak henti-hentinya berusaha mendiskreditkan sahabat-sahabat utama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam daintaranya adalah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan kali ini mereka menggunakan sebuah hadits dari shahih Muslim sebagai senjatanya untuk menembak kedua sahabat mulia tersebut, tetapi seperti biasa, kebiasaan mereka adalah menukil suatu hadits dengan sepotong-sepotong, mengambil yang diinginkan dan membuang sisanya, sehingga menyesatkan orang awwam yang membacanya, memang itulah tujuan mereka. Padahal jika dibaca hadits tersebut secara keseluruhan, maka akan tampak permasalahan sebenarnya, dan akan runtuh hujjah mereka dengan sendirinya, karena jika kita memakai gaya pemikiran mereka, bukan hanya Abu Bakar dan Umar ra saja yang terdiskreditkan tetapi Imam Ahlul Bait yaitu Imam Ali, Al-Abbas ra sebagai ahlul bait Nabi pun kena getahnya dengan gaya pemikiran mereka tersebut. Apakah setelah itu mereka masih mau memakai hadits ini untuk menyerang sahabat Nabi? Kita lihat saja nanti.

Baik mari kita perhatikan bersama-sama teks hadits ini secara keseluruhan :

49 – ( 1757 ) وحدثني عبدالله بن محمد بن أسماء الضبعي حدثنا جويرية عن مالك عن الزهري أن مالك بن أوس حدثه قال
Y أرسل إلي عمر بن الخطاب فجئته حين تعالى النهار قال فوجدته في بيته جالسا على سرير مفضيا إلى رماله متكئا على وسادة من أدم فقال لي يا مال إنه قد دف أهل أبيات من قومك وقد أمرت فيهم برضخ فخذه فاقسمه بينهم قال قلت لو أمرت بهذا غيري ؟ قال خذه يا مال قال فجاء يرفا فقال هل لك يا أمير المؤمنين في عثمان وعبدالرحمن بن عوف والزبير وسعد ؟ فقال عمر نعم فأذن لهم فدخلوا ثم جاء فقال هل لك في عباس وعلي ؟ قال نعم فأذن لهما فقال عباس يا أمير المؤمنين اقض بيني وبين هذا الكاذب الآثم الغادر الخائن فقال القوم أجل يا أمير المؤمنين فاقض بينهم وأرحهم ( فقال مالك بن أوس يخيل إلي أنهم قد كانوا قدموهم لذلك ) فقال عمر اتئدا أنشدكم بالله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض أتعلمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( لا نورث ما تركنا صدقة ) قالوا نعم ثم أقبل على العباس وعلي فقال أنشدكما بالله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض أتعلمان أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا نورث ما تركناه صدقة ) قالا نعم فقال عمر إن الله عز و جل كان خص رسولهل صلى الله عليه و سلم بخاصة لم يخصص بها أحدا غيره قال ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى فلله وللرسول [ 59 / الحشر / 7 ] ( ما أدري هل قرأ الآية التي قبلها أم لا ) قال فقسم رسول الله صلى الله عليه و سلم بينكم أموال بني النضير فوالله ما استأثر عليكم ولا أخذها دونكم حتى بقي هذا المال فكان رسول الله صلى الله عليه و سلم يأخذ منه نفقة سنة ثم يجعل ما بقي أسوة المال ثم قال أنشدكم بالله الذي بإذنه تقوم السماء والأرض أتعلمون ذلك ؟ قالوا نعم ثم نشد عباسا وعليا بمثل ما نشد به القوم أتعلمان ذلك ؟ قالا نعم قال فلما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أبو بكر أنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم فجتئما تطلب ميراثك من ابن أخيك ويطلب هذا ميراث امرأته من أبيها فقال أبو بكر قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما نورث ما تركنا صدقة ) فرأيتماه كاذبا آثما غادرا خائنا والله يعلم إنه لصادق بار راشد تابع للحق ثم توفي أبو بكر وأنا ولي رسول الله صلى الله عليه و سلم وولي أبا بكر فرأيتماني كاذبا آثما غادرا خائنا والله يعلم إني بار راشد تابع للحق فوليتها ثم جئتني أنت وهذا وأنتما جميع وأمركما واحد فقلتما ادفعها إلينا فقلت إن شئتم دفعتها إليكما على أن عليكما عهد الله أن تعملا فيها بالذي كان يعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم فأخذتماها بذلك قال أكذلك ؟ قالا نعم قال ثم جئتماني لأقضي بينكما ولا والله لا أقضي بينكما بغير ذلك حتى تقوم الساعة فإن عجزتما عنها فرداها إلي
[ ش ( تعالى النهار ) أي ارتفع




Diriwayatkan oleh az-Zuhri yang hadits ini diceritakan kepadanya oleh Malik bin Aus yang mengatakan : Umar bin Khattab memintaku untuk datang dan aku datang kepadanya pada siang hari. Aku menemui dia di rumahnya sedang duduk di kasur menghadap pasir, bersandar di atas bantal kulit. Ia berkata (kepadaku) : “Malik, beberapa orang dari kaum-mu telah bergegas datang kepadaku (dengan meminta tolong). Aku telah memutuskan untuk memberi sedikit uang kepada mereka. Ambillah dan bagikan itu kepada mereka. Aku berkata: “saya berharap anda memerintahkan orang lain untuk melakukan tugas ini”. Ia berkata : “Malik, Ambillah itu”. Pada saat itu (Pelayan Umar) Yarfa’ masuk dan berkata : “Amirul Mukminin, apa yang anda katakan tentang Utsman, Abdurrahman bin Auf, Zubair dan Sa’ad (yang datang meminta bertemu anda)? Umar berkata : Ya, ijinkan mereka. Kemudian mereka masuk, kemudian Yarfa’ datang lagi dan berkata : “Apa yang anda katakan tentang Ali dan Abbas (yang sudah hadir di depan pintu)? Ia menjawab : Ya, ijinkan mereka untuk masuk. Abbas berkata : “Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini” (yang dimaksud adalah Ali –Pent). Orang-orang (yang hadir) juga berkata : “Ya Amirul Mukminin, putuskan (perselisihan tersebut) dan kasihani mereka. Malik bin Aus berkata : Saya dapat membayangkan dengan baik bahwa mereka telah dikirimkan terlebih dahulu untuk tujuan ini (oleh Ali dan Abbas). Umar berkata : “tunggu dan sabar”, “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu alaihi wasalam telah bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? Mereka menjawab : “Ya”. Kemudian dia menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata : “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu alaihi wasalam bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? mereka (juga) menjawab : “Ya” (kemudian) Umar berkata : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah memperlakukan Rasul-Nya dengan sebuah kebaikan yang khusus yang Dia tidak perlakukan kepada yang lain kecuali terhadap beliau. Ia mengutip ayat Al-Qur’an : “Apa-apa yang telah anugerahkan kepada Rasul-Nya dari (kekayaan) penduduk kota adalah untuk Allah dan Rasul-Nya… (Al-Hasyr : 7)”. Rawi berkata : “saya tidak tahu apakah dia juga mengutip ayat sebelumnya atau tidak”. Umar melanjutkan : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam telah membagikan diantara kalian harta rampasan dari Bani Nadhir. Demi Allah, beliau tidak pernah menghendaki dirinya melebihi kalian dan tidak pernah mengambil alih apapun terhadap pengeluaran kalian. (sesudah pembagian yang adil dengan cara ini) harta ini masih tersisa.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam akan memenuhi dari harta ini untuk nafkah tahunan beliau, dan sisanya akan disimpan di Baitul Mal. (lebih lanjut) Ia mengatakan : kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi, Tahukah kalian tentang ini? Mereka menjawab “Ya”. Kemudian dia meminta Abbas dan Ali sebagaimana ia telah minta kepada yang lain dan bertanya : “Tahukah kalian berdua mengenai hal ini”? mereka menjawab “Ya”. Ia mengatakan “Dan ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar berkata, ‘Aku adalah walinya Rasulullah, lalu kalian berdua (Ali dan Abbas) datang menuntut warisanmu dari anak saudaramu dan yang ini menuntut bagian warisan istrinya dari ayahnya. Maka Abu Bakar berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda: “Kami tidak memberikan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.”, lalu kalian berdua memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Demi Allah ia adalah seorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Kemudian Abu Bakar wafat dan aku berkata, ‘Akulah walinya Rasulullah saw. dan walinya Abu Bakar, lalu kalian berdua memandangku sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Dan Allah Mengetahui bahwa aku seorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Aku menjadi wali dari harta ini. Kemudian kamu dan seperti halnya dia telah datang kepadaku. Kalian berdua telah datang dan urusan kalian satu, kalian mengatakan (pada saat itu) : “Percayakan harta itu kepada kami”, Aku mengatakan : “jika kalian menghendakinya aku akan percayakan kepada kalian. Dengan syarat bahwa kalian berdua akan bertanggung jawab dengan berjanji kepada Allah untuk menggunakannya dengan cara yang sama sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menggunakannya”. “maka kalian berdua telah mendapatkannya”. Ia berkata : “bukankah seperti ini?” mereka menjawab :”Ya”. Ia berkata : Kemudian kalian datang (lagi) kepadaku dengan permintaan bahwa aku harus mengadili diantara kalian (Ali dan Abbas). Tidak, Demi Allah, aku tidak akan memberikan putusan yang lain kecuali ini sampai hari kiamat. Jika kalian tidak bisa memegang harta tersebut sesuai dengan syarat yang ada, kembalikan harta itu kepadaku. (HR. Muslim, Kitab al Jihâd wa as Sair, Bab Hukm al Fai’,3/1376 No. 1757)

Ada beberapa poin yang bisa diambil dari hadits di atas :

1. Kesederhanaan, Kedermawanan dan ketegasan khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu
2. Abbas dan Ali ra datang dalam keadaan mereka berdua sedang bersengketa (dalam urusan harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam), kedatangan mereka disertai beberapa orang sahabat utama, mereka meminta putusan dari Umar sebagai khalifah, hal ini menunjukkan pengakuan mereka atas kepemimpinan Umar ra.
3. Abbas melontarkan kata-kata yang cukup keras yang ditujukan kepada Ali dihadapan Umar dengan perkataannya “Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini (Ali)”
4. Umar ra mengingatkan kepada mereka tentang hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau tidak meninggalkan warisan, dan apa-apa yang ditinggalkan adalah shadaqah. Umar ra kemudian mengkonfirmasikan hal ini kepada sahabat-sahabat yang hadir di sana termasuk Abbas dan Ali ra, mereka semua dengan tegas mengetahui dan membenarkan hadits tersebut.
5. Umar ra mengingatkan kepada mereka tentang cara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengelola harta Fa’i rampasan dari Bani Nadhir yang sudah menjadi hak beliau semasa beliau masih hidup, yaitu beliau mengambil dari harta tersebut nafkah beliau selama satu tahun dan kemudian sisanya beliau masukkan baitul Mal (sebagai shadaqah). Umar kemudian mengkonfirmasikan hal tersebut kepada yang hadir, termasuk Abbas dan Ali, dan mereka semua dengan tegas mengetahui dan membenarkan hal itu.
6. Kemudian Umar menceritakan, bahwa setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar yang menggantikan beliau mengelola harta itu dan mencontoh apa yang dilakukan Nabi terhadap harta Fa’i tersebut selama beliau hidup, kemudian Abbas datang, menuntut pembagian warisan atas harta itu dari anak saudaranya dan Ali menuntut pembagian warisan istrinya atas harta itu dari ayahnya, dan Abu Bakar menjawab dengan hadits di atas bahwa Nabi tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang ditinggalkan adalah shadaqah, tetapi saat itu mereka (Abbas dan Ali) belum bisa menerimanya, sehingga Umar menggambarkan pandangan Abbas dan Ali saat itu kepada Abu Bakar sebagaimana pandangan Abbas kepada Ali dengan perkataan “kalian memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat” Umar hanya mengulang perkataan Abbas dengan persis sama tanpa mengurangi atau melebihkan. Demikian juga saat Umar melanjutkan ceritanya bahwa kemudian dia menggantikan Abu Bakar dan berpendapat sama dengan Abu Bakar dalam mengelola harta itu, maka dia ulangi lagi perkataan tersebut di atas untuk menggambarkan perbedaan pendapat antara dia di satu sisi dengan Abbas dan Ali di sisi yang lain saat itu.
7. Kemudian Umar menceritakan juga bahwa harta fa’i itu akhirnya telah dia percayakan pengelolaannya kepada Abbas dan Ali dengan syarat mereka berjanji untuk mengelola harta fa’i tersebut sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengelolanya dan hal itu sudah dilakukannya, Umar juga meminta konfirmasi dari Abbas dan Ali mengenai hal ini, dan mereka membenarkannya.
8. Umar tidak mau mengubah status pengelolaan harta yang sudah dipercayakan kepada Abbas dan Ali saat itu dengan status yang lain.

Demikianlah konteks hadits di atas, ahlus sunnah dengan mudah memahami hadits tersebut, karena memang dalam memahami hadits-hadits seperti ini ahlus sunnah tidak disertai oleh rasa dengki atau benci terhadap sahabat atau ahlul bait tertentu. Ahlus sunnah memaklumi adanya perselisihan pendapat diantara para sahabat maupun ahlul bait. Ahlus sunnah tidak mencela sahabat maupun ahlul bait yang berbuat keliru dalam ijtihadnya, karena mereka bukanlah makshum yang tak lepas dari kekeliruan.

Hadits yang panjang di atas sebenarnya dicantumkan juga oleh Bukhari dalam shahihnya dalam beberapa riwayat tetapi dengan redaksi yang sedikit berbeda dan di dalamnya tidak disebutkan kata-kata yang oleh kaum Syi’ah begitu dihebohkan yaitu kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat”.



Tuduhan Syi’ah terhadap Abu Bakar dan Umar ra dengan berhujjah pada hadits ini dan kecurangan Syi’ah dalam menukil hadits.

Kaum Syi’ah mencoba mencari-cari cara untuk mendiskreditkan khalifah Abu bakar dan Umar ra berdasarkan literatur ahlus sunnah, dan seperti biasa mereka menggunakan segala cara, agar kaum awwam ahlus sunnah termakan oleh hasutan mereka, mereka dengan sengaja menukil hadits tersebut sebagian saja dan tidak menampilkan keseluruhan teks hadits tersebut, hal ini dilakukan oleh mereka, karena jika teks hadits ini ditampilkan secara keseluruhan, maka akan runtuh dengan sendirinya syubhat mereka.

Salah satu contoh, sebuah situs yang dikelola oleh seorang syi’ah tulen bernama Ibnu Jakfari, di dalam sebuah artikel di blognya berjudul Khalifah Abu Bakar dan Umar dimata Imam Bukhari dan Muslim, tertulis seperti ini :

Abu Bakar Kâdzib!

Imam Bukhari dan Imam Muslim keduanya melaporkan dengan beberapa jalur yang meyakinkan bahwa segera setalah Abu Bakar melontarkan hadis itu dan dengannya ia melegalkan perampasan tanah Fadak, Imam Ali as. menegaskan bahwa Abu Bakar telah berbohong atas nama Rasulullah saw. dalam hadis tersebut!

Di bawah ini kami sebutkan hadis panjang riwayat Bukhari dan Muslim yang melaporkan pengaduan/sengketa antara Abbas dan Imam Ali as. di hadapan Umar –semasa menjabat sebagai Khalifah:

فلما توفي رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم قال أبو بكر: أنا وليُّ رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم، فجئتما تطلب ميراثك كن ابن أخيك و يطلب هذا ميراث إمرأته من أبيها فقال أبو بكر: قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال: ما نورث ما تركنا صدقة! فرأيتماه كاذبا آثما غادرا خائنا والله يعلم أنه فيها صادق بار راشد تابع للحق …..

“… Dan ketika Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar berkata, ‘Aku adalah walinya Rasulullah, lalu kalian berdua (Ali dan Abbas) dating menuntut warisanmu dari anak saudaramu dan yang ini menuntut bagian warisan istrinya dari ayahnya. Maka Abu Bakar berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda: “Kami tidak diwarisi, apa- apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.”, lalu kalian berdua memandangnya sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat. Demi Allah ia adalahseorang yang jujur, bakti, terbimbing dan mengikuti kebenaran. Kemudian Abu Bakar wafat dan aku berkata, ‘Akulah walinya Rasulullah saw. dan walinya Abu Bakar, lalu kalian berdua memandangku sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat…. “ (HR. Muslim, Kitab al Jihâd wa as Sair, Bab Hukm al Fai’,5/152)

Imam Bukhari Merahasiakan Teks Sabda Nabi saw.!

Dalam hadis shahih di atas jelas sekali ditegaskan bahwa Imam Ali as. dan Abbas ra. paman Nabi saw. telah menuduh Abu Bakar dan Umar yang merampas seluruh harta warisan Nabi saw. dari ahli waris belaiu dengan membawa-bawa hadis palsu atas nama Nabi saw. sebagai:

1. Pembohong/Kâdziban.
2. Pendosa/Atsiman.
3. Penipu/Ghadiran.
4. Pengkhianat/Khâinan.

Kenyataan ini sangat lah jelas, tidak ada peluang untuk dita’lilkan dengan makna-makna pelesetan yang biasa dilakukan sebagian ulama ketika berhadapaan dengan redaksi yang agak semu!

Demikian si penulis Rafidhi ini dengan sok- nya menuliskan kalimat-kalimat di atas. Pembaca yang tidak kritis dan tidak mau meneliti lagi hadits yang dinukil si penulis rafidhi ini akan dengan mudah termakan oleh syubhat tersebut, padahal jika pembaca mau sekali saja membuka hadits tersebut dan membaca keseluruhan teks yang ada, maka akan terbongkarlah kelemahan hujjah si penulis rafidhi tersebut. Dan akan ketahuan bahwa si Penulis memang dengan sengaja tidak menukil hadits tersebut secara keseluruhan agar para pembaca bisa termakan syubhatnya. Dengan alasan apapun ini adalah kecurangan yang nyata!

Perhatikan :

Si penulis tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan Al-Abbas ra berkata mengenai Ali ra di hadapan Umar ra “Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini.

Si penulis juga tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan Abbas, Ali dan para sahabat ra yang berada di rumah Umar ra membenarkan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah”

Si penulis juga tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan Abbas, Ali dan para sahabat ra yang berada di rumah Umar membenarkan apa yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap harta Fa’i tersebut di saat beliau masih hidup.

Si penulis juga tidak menukilkan bagian hadits yang menyebutkan bahwa harta fa’i tersebut sudah dipercayakan pengelolaannya kepada Abbas dan Ali ra oleh Umar ra.

Mari lebih lanjut kita jawab syubhat si Penulis tersebut :

Jika si penulis Rafidhi ini telah berani memakai hadits Muslim di atas sebagai hujjah dan dia mengatakan di atas bahwa hadits ini shahih atau meyakinkan, maka konsekuensinya dia harus memakai keseluruhan teks hadits tersebut sebagai hujjah, tidak bisa hanya mengambil sepotong saja dan membuang yang lain.

Apakah si penulis tidak membaca pada hadits tersebut bahwa Umar hanya menirukan apa yang dikatakan oleh Abbas ra terhadap Ali ra di hadapan Umar ra?

“Amirul mukninin, putuskan (perselisihan) antara saya dan si pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ini. (Ali)

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan beberapa variasi mengenai apa yang diucapkan Abbas mengenai Ali dihadapan Umar ra.

وفي رواية عقيل عن ابن شهاب في الفرائض ” اقض بيني وبين هذا الظالم

Dalam riwayat Uqail dari Ibnu Syihab (az-Zuhri) dalam kitab Kewajiban al-Khumus “Putuskan antara saya dan si Dzalim ini”.

زاد شعيب ويونس ” فاستب علي وعباس “

Syu’aib dan Yunus menambahkan bahwa Ali dan Abbas memanggil dengan nama masing-masing tanpa menyebutkan sama sekali kata-kata pembohong, etc seperti di atas


Sedangkan kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat” dalam hadits di atas adalah riwayat dari Juwairiyah.

Beberapa variasi teks tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Abbas dan Ali ra sedang berselisih pendapat, sedangkan detail dari apa yang dikatakan Abbas mengenai Ali sebenarnya adalah merupakan kata-kata yang tidak jelas, terbukti adanya beberapa variasi teks mengenai hal itu. Seharusnya inilah pengertian yang bisa diambil dari hadits tersebut.

Jika si penulis memahami hadits tersebut dengan disertai kedengkian terhadap sahabat tertentu dan tetap keukeuh menganggap bahwa Abu Bakar dan Umar sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat di mata Abbas dan Ali dalam artian yang sebenarnya, lalu bagaimana posisi Imam Ali sendiri dalam hadits tersebut? Apakah berarti Ali ra juga adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat di mata Abbas dalam artian yang sebenarnya? artinya yang dikatakan sebagai pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat dalam hadits tersebut bukan hanya Abu Bakar ra dan Umar ra saja, tetapi juga Ali ra? Apakah penulis mau menerima pernyataan seperti ini?

Mari kita perhatikan, Abbas mengatakan bahwa Ali adalah pembohong, pendosa, Penipu dan pengkhianat dengan begitu jelas dan tegasnya dihadapan Umar, sedangkan Umar hanya memperkirakan pandangan Abbas dan Ali terhadap Abu Bakar dan terhadap dirinya pada waktu yang telah lalu saat mereka berselisih pendapat mengenai harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan menirukan kata-kata Abbas mengenai Ali, lihatlah kembali kata-kata Umar ra di atas فرأيتماه كاذبا ”Kalian berdua memandangnya sebagai pembohong,..” kira-kira mana tuduhan yang lebih nyata? Tuduhan Abbas atau Perkiraan Umar? Pembaca tentu bisa menilainya sendiri.

Sebenarnya perkataan Abbas ra dalam hadits di atas bisa dikatakan adalah sebuah sindiran tajam kepada Ali ra, demikian juga perkataan Umar ra adalah merupakan sindiran yang tajam terhadap Abbas dan Ali ra, karena dulunya mereka berdua tidak sependapat dengan Abu Bakar dan Umar ra tetapi kemudian saat itu mereka berdua mengakui dan membenarkannya dan mereka berdua datang dalam keadaan berselisih diantara mereka untuk meminta keputusan dari Umar ra. Dan perkataan Umar ra dan Abbas ra tidak lepas dari retorika dalam bahasa Arab. Allahu A’lam bishowab.

Si Penulis mengatakan :

Dalam hadis shahih di atas jelas sekali ditegaskan bahwa Imam Ali as. dan Abbas ra. paman Nabi saw. telah menuduh Abu Bakar dan Umar yang merampas seluruh harta warisan Nabi saw. dari ahli waris belaiu dengan membawa-bawa hadis palsu atas nama Nabi saw. sebagai:

1. Pembohong/Kâdziban.
2. Pendosa/Atsiman.
3. Penipu/Ghadiran.
4. Pengkhianat/Khâinan.

bukankah disebutkan dalam teks hadits di atas bahwa Imam Ali dan Abbas mengakui kebenaran hadits yang dibawakan oleh Umar dan Abu Bakar (Kami tidak meninggalkan warisan…)?, mari kita nukil lagi,

Kemudian dia menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata : “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? mereka (juga) menjawab : “Ya”

apakah si penulis tidak membaca teks tersebut? Jika Imam Ali dan Abbas menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai pembohong dan seterusnya, mengapa Ali dan Abbas ra kemudian mengakui dan membenarkan hadits tersebut? Apakah Penulis berani mengatakan bahwa Abbas dan Ali ra tidak konsisten dalam hal ini, karena sebelumnya mereka menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai Pembohong, dst.., tetapi kemudian mereka membenarkan hadits tersebut? Jika penulis tidak mau menerima konsekuensi dengan memakai hadits ini sebagai hujjah, maka saran kami jangan pernah dech coba-coba memakai hadits Muslim itu sebagai hujjah untuk menyerang sahabat Nabi.

Kemudian si Penulis juga menuduh bahwa Imam Bukhari merahasiakan teks kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat” pada hadits yang dibawakannya dan menggantikannya dengan kata-kata “begini dan begitu”.

Padahal ada beberapa variasi teks dan sanad yang berbeda, sehingga perbedaan redaksi seperti itu adalah hal wajar selama makna yang disampaikan adalah sama, sebagaimana adanya beberapa variasi mengenai perkataan Abbas ra terhadap Ali ra yang telah disebutkan di atas, bahwa perselisihan pendapat diantara mereka adalah suatu perkara yang jelas, tetapi detail dari kata-kata yang mereka ucapkan ketika mereka berselisih pendapat itulah yang tidak jelas dan bervariasi.

Ibnu Hajar dalam syarahnya mengatakan mengenai hadits semakna yang tercatat dalam bab Fardhu Khumus :


وكأن الزهري كان يحدث به تارة فيصرح , وتارة فيكني , وكذلك مالك وقد حذف ذلك في رواية بشر بن عمر عنه عند الإسماعيلي وغيره وهو نظير ما سبق من قول العباس لعلي وهذه الزيادة من رواية عمر عن أبي بكر حذفت من رواية إسحاق الفروي شيخ البخاري…

Dan az-Zuhri dulu kadang-kadang membicarakannya (tambahan kata-kata “pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat”) dengan jelas, kadang mengkonotasikannya, dan begitu pula Malik dan tambahan itu telah dihapus pada riwayat Bisyr bin ‘Amr darinya pengikut mazhab Ismailiyah dan yang lainnya dan merupakan bandingan dari pendapat sebelumnya dari perkataan Al Abbas kepada Ali dan tambahan ini dari riwayat Umar dari Abu Bakar telah dihapus dari riwayat Ishaq Al-Farawi guru Al-Bukhari,

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menjelaskan dengan panjang lebar mengenai tambahan kata-kata tersebut di syarah beliau, dan tidak ada beliau menuduh Imam Bukhari seperti apa yang dituduhkan oleh si penulis Syi’ah tersebut. Maka tuduhan si penulis ini adalah fitnah!

Si Penulis blog tersebut berkata :

Di antara lembaran hitam sejarah umat Islam yang tak dapat dipungkiri adalah terjadinya sengketa antara Fatimah as. –selaku ahli waris Nabi saw.– dan Abu Bakar selaku penguasa terkait dengan tanah Fadak dan beberapa harta waris yang ditinggalkan Nabi saw.

Menolak adanya sengketa dalam masalah ini bukan sikap ilmiah! Ia hanya sikap pengecut yang ingin lari dari kenyataan demi mencari keselamatan dikarenakan tidak adanya keberanian dalam menentukan sikap membela yang benar dan tertindas dan menyalahkan yang salah dan penindas!

Siapa yang menolak perselisihan tersebut? AhlusSunnah tidak mengingkari adanya perselisihan pendapat di antara sahabat amaupun ahlul bait, Tetapi kami bukanlah pendengki seperti si penulis ini, yang mengkultuskan yang satu dan membenci yang lain, kami ahlus sunnah memaklumi bahwa mereka bisa saja berselisih paham dan itu adalah wajar-wajar saja, terjadi pada sahabat maupun ahlul bait, karena mereka bukan makshum. Dan Ahlus Sunnah tidak bersikap berlebih-lebihan terhadap perkara yang diikhtilafkan oleh mereka dan akhirnya riwayat yang shahih menyatakan bahwa perselisihan tersebut sudah selesai, Imam Ali dan keturunannya menerima dan membenarkan keputusan Abu Bakar dan khalifah selanjutnya mengenai perlakuan terhadap harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sesuai yang diperintahkan dan dipraktekkan oleh Nabi sendiri semasa Nabi masih hidup.

Data-data akurat telah mengabadikan sengketa tersebut! Karena deras dan masyhurnya kenyataaan itu sehingga alat penyaring Imam Bukhari dan Muslim tak mampu menyaringnya! Atau bisa jadi sangking shahihnya hadis tentangnya sehingga Imam Bukhari dan Muslim –sebagai penulis kitab hadis paling selektif pun- menshahihkannya dan kemudian mengoleksinya dalam kedua kitab hadis Shahih mereka!

Tetapi si penulis ini begitu curang, dengan menukil hadits hanya sebagian saja untuk menyesatkan kaum awwam.

Dalam kali ini kami tidak hendak membicarakan kasus sengketa tanah Fadak secara rinci. Akan tetapi kami hanya akan menyoroti “argumentasi dadakan” yang diajukan Abu Bakar secara spontan demia melegalkan perampasan tanah Fadak! Argumentas Abu Bakar tersebut adalah “hadis Nabi” yang kemudian menjadi sangat masyhur di kalangan para pembela Abu Bakar! Hadis tersebut adalah hadis “Kami para nabi tidak diwarisi, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah.”

Setelah dilontarkan pertama kali oleh Abu Bakar secara dadakan di hadapan argumentasi qur’ani yang diajukan putri kenabian; Fatimah az Zahra as., hadis itu menerobos mencari posisi sejajar dengan sabda-sabda suci Nabi saw. lainnya. Tidak penting sekarang bagi kita untuk menyimak penilaian para pakar hadis atau lainnya tentang status hadis tersebut! Apakah ia benar sabda suci Nabi saw. atau ia sekedar akala-akalan Abu Bakar saja demi melegetimasi perampasan tanah Fadak!

Buktinya pada hadits yang penulis Syi’ah tersebut jadikan hujjah, baik itu Bukhari maupun Muslim, disebutkan bahwa Imam Ali dan Abbas mengakui kebenaran hadits tersebut, anehnya kenapa si penulis ini tidak menukilnya??.

Dengan PeDe-nya si Penulis syi’ah itu berkata :

Kami dapat memaklumi bahwa dengan riwayat-riwayat shahih seperti di atas saudara-saudara kami Ahlusunnah dibuat repot dan kebingungan menetukan sikap!

Kami tidak repot atau bingung kok dengan hadits di atas, sikap kami sudah sangat jelas sebagaimana yang sudah kami sampaikan, bahwa mereka adalah manusia biasa dan wajar jika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, dan hal itu tidak mengurangi sama sekali keutamaan mereka, justru kelihatan si penulis ini yang repot dan kebingungan mencari-cari dalil dari literatur Sunni untuk mendiskreditkan orang-orang tertentu dikalangan para sahabat, tetapi sayangnya si penulis ini berlaku curang dengan menukil hadits secara sepotong-sepotong.



Sahabat maupun Ahlul Bait tidaklah Ma’shum

Ahlus Sunnah tidak meyakini bahwa sahabat maupun ahlul bait adalah ma’shum, contohnya sebagaimana diceritakan oleh hadits di atas, apapun kekeliruan yang mungkin dilekatkan kepada Abbas, Ali, Abu Bakar maupun Umar radhiyallahu ‘anhum adalah timbul dari diri mereka sebagai manusia biasa, dan yang benar adalah setiap mereka mempunyai hujjah, dan kita dapatkan bahwa perselisihan pendapat bukan hanya terjadi diantara para sahabat saja, bahkan terjadi juga di lingkungan ahlul bait Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya adalah hadits di atas dimana Al Abbas ra berselisih paham dengan Ali ra.

Perselisihan pendapat antara orang-orang yang kita ketahui keshalehan mereka adalah hal yang wajar, dan tidaklah itu menghilangkan agama kita ataupun berpengaruh kepada keyakinan dasar kita serta tidak menghilangkan keutamaan dan keadilan mereka sebagai generasi awal Islam yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya.



Kesimpulan :

Tuduhan Syi’ah bahwa Abu Bakar ra dan Umar ra adalah sebagai seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat berdasarkan hadits Muslim di atas adalah tuduhan yang lemah dan jika mereka mengambil hadits Muslim tersebut sebagai hujjah, maka mereka harus mengambilnya secara keseluruhan dan tidak sepotong-sepotong, konsekuensinya mereka harus juga terpaksa menuduh Imam Ali juga sebagai seorang pembohong, pendosa, penipu, dan pengkhianat, dan menuduh Al-Abbas dan Imam Ali keduanya sebagai seorang yang tidak konsisten. Sekarang tersedia 3 opsi buat Syi’ah :

1. Menolak hadits tersebut, maka tuduhan mereka terhadap Abu Bakar dan Umar ra ikut tertolak juga.
2. Mengambil hadits tersebut, dengan konsekuensi mereka akan menuduh Ahlul Bait Nabi persis dengan apa yang dituduhkan kepada Abu Bakar dan Umar ra bahkan plus menuduh ahlul bait tidak konsisten.
3. Memahami hadits tersebut sebagaimana ahlus sunnah memahaminya. Bahwa perselisihan pendapat diantara mereka adalah hal yang wajar sebagai manusia biasa yang tidak ma’shum dan tidak sedikitpun mengurangi keutamaan mereka. Dan apa yang mereka (para sahabat dan ahlul bait) katakan saat berselisih pendapat adalah merupakan bagian dari kosa kata mereka sebagai Master dalam ilmu Balaghah bahasa Arab yang kadang merupakan retorika dan penekanan dalam percakapan.